Oleh: Arki Rifazka, Kepala Badan Pelaksana Harian, APJII
Indonesia tengah memasuki era transformasi digital yang akan menentukan daya saingnya di tingkat global. Sebagai negara dengan populasi terbesar di Asia Tenggara dan ekonomi digital yang berkembang pesat, akses terhadap internet cepat dan stabil menjadi kebutuhan utama bagi industri dan masyarakat. Namun, keterbatasan infrastruktur telekomunikasi serta regulasi yang belum optimal masih menjadi tantangan utama dalam mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi digital.
Menurut laporan Ookla Speedtest Global Index (Januari 2025) (speedtest.net), kecepatan rata-rata fixed broadband di Indonesia hanya 32,1 Mbps. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan Malaysia (129,5 Mbps), Thailand (237,1 Mbps), dan Singapura (336,5 Mbps). Lambatnya peningkatan kualitas jaringan internet ini berdampak pada daya saing industri digital dalam negeri, terutama bagi perusahaan berbasis teknologi dan startup yang mengandalkan konektivitas tinggi. Selain itu, biaya layanan internet yang tinggi semakin memperburuk kondisi, menghambat ekspansi ekonomi digital ke daerah-daerah yang lebih luas.
Di tengah perubahan cepat ini, pemerintah, regulator, dan pelaku industri dihadapkan pada tantangan besar untuk merumuskan strategi yang dapat mempercepat pembangunan infrastruktur digital.
Menanti Regulasi Spektrum 5G: Kendala dan Solusi
Di tengah persaingan global yang semakin kompetitif, regulasi yang jelas menjadi kunci dalam memastikan pertumbuhan infrastruktur digital yang berkelanjutan. Namun, Menurut laporan GSA Spectrum Auction Calendar (Februari 2025) (GSAcom), hingga awal 2025 Indonesia masih dalam tahap perencanaan untuk melelang spektrum 700 MHz dan 26 GHz. Sementara itu, negara-negara seperti Malaysia dan Thailand telah lebih dahulu mengalokasikan spektrum 3.5 GHz, yang merupakan standar global untuk jaringan 5G.
Ketidakpastian regulasi spektrum menjadi salah satu faktor yang menghambat ekspansi 5G di Indonesia. Tanpa kejelasan, operator akan sulit merancang investasi jangka panjang, yang berdampak pada tertundanya inovasi dan perluasan jaringan. Ketidakpastian ini juga akan menghambat pengembangan ekosistem digital yang lebih luas, termasuk smart cities, Internet of Things (IoT), serta teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) dan cloud computing. Jika kondisi ini tidak segera diatasi, Indonesia berisiko kehilangan momentum dalam transformasi digital, sementara negara-negara lain semakin melaju dengan infrastruktur 5G yang lebih matang.
Berbeda dengan Indonesia, Malaysia telah mengadopsi model Single Wholesale Network (SWN) melalui Digital Nasional Berhad (DNB), yang bertanggung jawab untuk mengelola dan mengoperasikan jaringan 5G secara nasional. Pendekatan ini menimbulkan pro dan kontra, dengan sebagian pihak berpendapat bahwa model ini mengurangi kompetisi dan fleksibilitas operator dalam membangun jaringan mereka sendiri. Sementara itu, negara seperti Thailand dan Filipina tetap mengadopsi model multi-operator, yang memungkinkan lebih banyak penyedia layanan untuk berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur. Indonesia, tampaknya perlu mempertimbangkan kembali pendekatan terbaik yang dapat mempercepat adopsi 5G tanpa menghambat kompetisi industri telekomunikasi dalam negeri.
Di tengah tantangan ini, industri telekomunikasi tidak dapat hanya bergantung pada kebijakan spektrum yang masih belum jelas. Dibutuhkan solusi teknis yang memungkinkan operator untuk tetap mengembangkan jaringan 5G meskipun pelelangan spektrum belum tuntas. Salah satu solusi yang telah berhasil diterapkan di beberapa negara adalah Dynamic Spectrum Sharing (DSS).
Menurut laporan GSMA (2024) (GSMA.com), Dynamic Spectrum Sharing (DSS) telah menjadi solusi efektif dalam mempercepat implementasi jaringan 5G tanpa harus menunggu pelelangan spektrum baru. DSS memungkinkan jaringan 4G dan 5G berbagi spektrum secara dinamis, yang telah diimplementasikan di negara-negara seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Tiongkok untuk mempercepat ekspansi infrastruktur 5G.
Di tengah keterlambatan pelelangan spektrum, operator telekomunikasi membutuhkan solusi yang memungkinkan ekspansi jaringan 5G tanpa bergantung pada regulasi yang belum pasti. Salah satu solusi yang telah berhasil diterapkan di beberapa negara adalah Dynamic Spectrum Sharing (DSS). Jika DSS diterapkan tanpa regulasi yang jelas, ada potensi pelanggaran terhadap sistem alokasi spektrum yang berlaku, terutama karena spektrum yang telah dialokasikan tidak dapat digunakan oleh pihak lain tanpa izin resmi dari regulator.
Fixed Broadband Indonesia: Mengapa Masih Mahal dan Lambat?
Selain tantangan dalam pengembangan 5G, kualitas fixed broadband di Indonesia juga masih menjadi perhatian. Meskipun permintaan terhadap internet cepat terus meningkat, infrastruktur yang tersedia belum mampu memenuhi kebutuhan digital yang semakin besar. Menurut laporan OpenSignal (Juli 2024) (OpenSignal.com), kecepatan rata-rata layanan fixed broadband di Jakarta masih jauh dari standar global. Biznet mencatatkan kecepatan rata-rata 37,6 Mbps, First Media 30,7 Mbps, dan IndiHome hanya 24 Mbps. Dengan angka ini, Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya yang telah mencapai kecepatan di atas 100 Mbps. Kecepatan ini masih jauh di bawah standar yang ditawarkan oleh negara-negara tetangga, di mana Singapura telah mencapai 336,5 Mbps, Thailand 237,1 Mbps, dan Malaysia 129,5 Mbps.
Rendahnya kecepatan broadband ini berdampak langsung pada daya saing industri digital di Indonesia. Startup yang bergerak di bidang e-commerce, teknologi finansial, dan layanan berbasis cloud menghadapi hambatan dalam operasional mereka akibat keterbatasan konektivitas. Selain itu, sektor korporasi dan perbankan yang semakin mengandalkan teknologi digital juga mengalami kesulitan dalam mengadopsi sistem berbasis cloud dan big data yang membutuhkan koneksi internet yang cepat dan stabil.
Selain kecepatan, biaya fixed broadband di Indonesia juga masih tergolong mahal. Berdasarkan laporan Indonesia Digital Economy Outlook 2024 yang dirilis oleh Mastel (mastel.id), harga layanan fixed broadband di Indonesia masih jauh lebih mahal dibandingkan negara lain di Asia Tenggara. Biznet menawarkan harga per Mbps per bulan sebesar Rp 1.350, yang masih jauh di atas harga rata-rata broadband di Malaysia dan Thailand yang memiliki penetrasi lebih luas dan infrastruktur lebih baik. Biaya yang tinggi ini menjadi penghalang utama bagi penetrasi internet ke daerah-daerah luar Jawa, yang masih menghadapi keterbatasan akses terhadap layanan broadband berkualitas tinggi.
Pembangunan infrastruktur serat optik yang belum merata menjadi tantangan lain yang harus segera diatasi. Meskipun proyek Palapa Ring telah diluncurkan untuk meningkatkan akses internet di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), implementasinya masih belum sepenuhnya optimal dalam menutup kesenjangan digital antara perkotaan dan pedesaan. Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah dan industri perlu mempercepat investasi dalam backbone dan middle-mile networks guna menekan biaya konektivitas, serta mendorong kemitraan publik-swasta dalam membangun infrastruktur broadband di daerah yang masih minim akses.
Membangun Fondasi Digital yang Lebih Kuat untuk Masa Depan Indonesia
Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin ekonomi digital di Asia Tenggara, didukung oleh populasi yang besar dan ekosistem digital yang terus berkembang. Namun, tantangan dalam regulasi 5G dan fixed broadband masih menjadi penghambat utama bagi transformasi digital yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Keterlambatan dalam pelelangan spektrum, biaya broadband yang tinggi, serta ketimpangan akses internet di berbagai wilayah memperlambat penetrasi layanan digital yang seharusnya menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Untuk mengatasi hambatan ini, pemerintah perlu segera menyelesaikan regulasi spektrum yang lebih fleksibel guna mendorong percepatan implementasi 5G. Kejelasan dalam kebijakan alokasi spektrum dan model bisnis yang digunakan harus menjadi prioritas agar operator telekomunikasi memiliki kepastian dalam berinvestasi. Selain itu, perlu ada insentif bagi industri untuk mempercepat pembangunan infrastruktur serat optik dan jaringan broadband yang lebih luas, sehingga konektivitas yang lebih stabil dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk di daerah terpencil.
Di sisi lain, operator telekomunikasi juga harus lebih proaktif dalam mengembangkan strategi bisnis yang inovatif, termasuk memanfaatkan Dynamic Spectrum Sharing (DSS) sebagai solusi alternatif dalam menghadapi keterbatasan spektrum. Kolaborasi dengan perusahaan teknologi global dan investor infrastruktur digital akan mempercepat pengembangan ekosistem telekomunikasi yang lebih maju dan kompetitif.
Dengan strategi yang tepat, baik dari sisi regulasi maupun investasi, Indonesia dapat mempercepat adopsi teknologi digital dan meningkatkan daya saingnya dalam ekonomi global. Percepatan transformasi digital tidak hanya akan mendukung pertumbuhan sektor telekomunikasi, tetapi juga memperkuat berbagai sektor lain, termasuk industri kreatif, keuangan, manufaktur, serta layanan publik yang berbasis teknologi digital.