Photo Credit: Rawpixel
Perkembangan AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan semakin pesat belakangan ini. Data dari Statista menyebutkan bahwa pada tahun 2020, pasar AI global mengalami peningkatan hingga 54% (dengan capaian US$ 22,6 miliar).
Kecerdasan buatan diproyeksikan akan memberikan kontribusi besar terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) suatu negara. Diproyeksikan, pada tahun 2030, Tiongkok akan meraih lonjakan PDB tertinggi berkat pengembangan kecerdasan buatan (sekitar 26,1%) dan diikuti oleh Amerika Utara (sekitar 14,5%).
Namun, sebenarnya untuk saat ini, bagaimana perkembangan kecerdasan di luar negeri? Artikel kali ini akan membahas perkembangan kecerdasan di empat negara, yakni Selandia Baru, Australia, Amerika Serikat, dan negeri jiran kita, Malaysia. Berikut penjelasannya.
1. Selandia Baru
Sejak berada di tangan Perdana Menteri Jacinda Ardern, Selandia Baru bergerak ke nilai-nilai yang lebih inklusif. Hal ini ternyata juga bisa dirasakan pada kebijakan digital mereka. Sebenarnya, Selandia Baru bukanlah negara dengan pemanfaatan teknologi yang super canggih, Bahkan data dari Department of Internal Affairs Selandia Baru menunjukkan bahwa sekitar 20% warganya masih menghadapi kesulitan dalam penggunaan teknologi.
Dari situ, pemerintah kemudian mulai menerapkan kebijakan-kebijakan yang mendukung pemerataan teknologi. Hal tersebut dinilai akan menjadi pondasi yang baik untuk perkembangan AI di masa mendatang. Salah satunya adalah Mana Orite Agreement yang disetujui pada 2021. Pada perjanjian tersebut, pemerintah Selandia Baru berkomitmen untuk mendukung transformasi digital pada Suku Maori, salah satu suku asli setempat.
Selain itu, Selandia Baru juga menggelontorkan dana hingga NZ$15 juta untuk membangun UMKM berbasis digital yang nantinya dikembangkan oleh penduduk asli dan disabilitas.
2. Australia
Perkembangan kecerdasan buatan juga bisa dirasakan dari negara tetangga Selandia Baru, yaitu Australia. Pemerintah setempat telah melakukan transformasi digital besar-besaran dan beberapa bahkan melibatkan penggunaan AI serta machine learning.
Salah satunya adalah penerapan chatbot atau virtual assistant pada Kantor Pajak setempat. Data dari AIMultiple menunjukkan bahwa penerapan teknologi tersebut membantu pemerintah untuk menangani lebih banyak masalah perpajakan. Tercatat, teknologi bot tersebut mampu melakukan lebih dari 3 juta percakapan dan menyelesaikan 88% keluhan dalam kontak pertama.
Selain Kantor Pajak, pemerintah Australia juga memanfaatkan AI pada Department of Human Services. Teknologi AI yang digunakan masih sama, yaitu chatbot. Penggunaan teknologi tersebut mampu menyelesaikan masalah mengenai keluarga, pencarian kerja, hingga biaya sekolah.
3. Amerika Serikat
Amerika Serikat adalah salah satu negara yang memiliki komitmen tinggi dalam mengembangkan teknologi kecerdasan buatan. Pada awal tahun 2021, pemerintah setempat meresmikan National AI Initiative Act of 2020 sebagai grand strategy pengembangan AI. Kebijakan tersebut melibatkan seluruh pemerintah Federal untuk mempercepat penelitian dan aplikasi AI demi peningkatan ekonomi dan keamanan.
Bahkan masa pandemi seolah tidak memberikan dampak apa pun terhadap perkembangan kecerdasan buatan di Amerika Serikat. Bagaimana tidak, alih-alih mengalami penurunan, pendanaan untuk sektor AI justru mencapai US$38 miliar, melampaui jumlah pada tahun 2020 lalu (sekitar US$36 miliar). Perkembangannya pun amat pesat. Pada kuarter II 2021, jumlah mega round atau pendanaan untuk startup bahkan mencapai 50, membuka kesempatan untuk 24 unicorn AI baru.
Situasi pasar yang baik tersebut tak ayal mengundang perhatian banyak investor. Laporan dari CB Insights menemukan bahwa secara kolektif, investasi untuk startup AI telah melebihi angka US$10,3 miliar. Beberapa contoh perusahaan AI dengan nilai investasi terbesar adalah Databricks (sekitar US$1,9 miliar), Tanium (US$1,17 miliar), dan Indigo Ag (US$ 1,15 miliar).
4. Malaysia
Geliat pengembangan kecerdasan buatan juga terlihat di Malaysia. Pemerintah setempat tengah giat melakukan transformasi digital untuk layanan publik mereka. Rencananya, sekitar 700 lembaga akan menjadi landasan atas upaya pengembangan tersebut.
Melalui MAMPU (Malaysian Administrative Modernisation and Management Planning Unit), pemerintah mendalami potensi teknologi AI dan juga blockchain. Mereka tengah menjajaki kemungkinan untuk memanfaatkan kedua teknologi tersebut demi meningkatkan transparansi dan efisiensi layanan publik. MAMPU telah melakukan uji coba penerapan blockchain untuk pencatatan dan mengembangkan jaringan blockchain dalam cloud tertutup milik pemerintah Malaysia.
Sebagai pondasi pengembangan AI, pemerintah setempat menerapkan strategi cloud-first. Perdana Menteri Tan Sri Muhyiddin Yassin berencana untuk memindahkan sekitar 80% data publik ke penyimpanan berbasis cloud. Untuk masalah investasi, MAMPU memperkirakan total US$2,96-3,70 miliar) dari perusahaan penyedia cloud seperti Google Cloud dan Amazon Web Services, serta perusahaan lokal, Telekom Malaysia.
Melihat pengembangan kecerdasan buatan di keempat negara tersebut, tentu akan menimbulkan pertanyaan, “Bagaimana dengan Indonesia sendiri?”. Jika melihat laporan dari Oxford Insight mengenai kesiapan pemerintah terhadap teknologi AI, tingkat kesiapan Indonesia (58,14%) sebenarnya berada di atas rata-rata dunia (47,42%). Walau begitu, Indonesia masih tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menetapkan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial sebagai strategi pengembangan AI dalam negeri. Untuk mendukung kesuksesan program tersebut, dibutuhkan integrasi yang baik antara pemerintah, investor, penyedia teknologi AI, peneliti, hingga masyarakat.