DTI-Rural-Healthcare-Challenges

Tantangan Layanan Kesehatan di Wilayah Pedesaan

Photo Credit: senivpetro (Freepik)

Layanan kesehatan di Indonesia masih menunjukkan gap yang besar antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menunjukkan bahwa 42,4% masyarakat pedesaan menganggap akses menuju rumah sakit masih sulit. Bahkan 36,8% masyarakat masih kesulitan mengakses fasilitas kesehatan (faskes) tingkat I seperti Puskesmas.

Hal ini tentu menjadi permasalahan yang serius. Sebab, faskes sering kali dikaitkan dengan kondisi kesehatan masyarakat, misalnya perkembangan balita. Belum lagi serangan virus Covid-19 yang tentu memengaruhi dinamika layanan kesehatan di wilayah pedesaan Indonesia.

Apa saja tantangan yang dihadapi oleh layanan kesehatan di wilayah pedesaan, terutama di masa pandemi seperti sekarang?

Layanan kesehatan di wilayah pedesaan selama pandemi

Pandemi nyatanya membuka beberapa fakta mengenai layanan kesehatan di wilayah pedesaan. Salah satunya adalah kesenjangan antara kota dan desa. Selama pandemi, jurang kesenjangan tersebut semakin terlihat. Indikatornya dapat dilihat dari tingkat pemberian vaksin.

Provinsi Sulawesi Selatan, misalnya. Data Dari Dinkes Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa pada Oktober 2021, diketahui bahwa capaian vaksinasi untuk wilayah pedesaan baru mencapai 20%. Sementara itu, di wilayah perkotaan, capaian vaksin ada di angka 60%. Ini menyebabkan capaian vaksin Provinsi Sulawesi Selatan menjadi rendah. Sebab, kebanyakan masyarakat masih tinggal di pedesaan.

Capaian vaksin hanyalah salah satu indikator yang dipakai untuk membuktikan gap antara wilayah kota dan desa. Masih ada banyak indikator lain seperti BOR (bed occupancy rate) hingga waktu tempuh pulang-pergi dari rumah menuju faskes.

Tantangan yang dihadapi

Jika diperhatikan lebih lanjut, layanan kesehatan di wilayah pedesaan menghadapi lima tantangan utama, yaitu:

1. Akses

Tantangan terbesar dari layanan kesehatan di pedesaan adalah akses. Masih dari hasil laporan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar), tampak perbedaan yang signifikan antara akses kesehatan di perkotaan dengan pedesaan.

Faktor penyebabnya pun sangat variatif, mulai dari ketersediaan infrastruktur (jalan, transportasi umum) yang masih minim hingga sinyal komunikasi yang sulit. Terlebih, kebanyakan masyarakat di wilayah pedesaan juga masih belum memiliki asuransi BPJS Kesehatan.

2. Pendanaan

Tantangan berikutnya adalah masalah pendanaan. Masih banyak faskes di wilayah pedesaan yang tidak mendapatkan pendanaan mumpuni. Alhasil, layanan kesehatan yang diberikan pun terbatas. Kondisi tersebut semakin terasa di kala pandemi menyerang. Di masa pandemi, kebutuhan terhadap layanan kesehatan jelas meningkat. Waktu pelayanan tenaga kesehatan naik, begitu pula dengan jumlah peralatan yang dipakai untuk memberikan layanan kesehatan. Otomatis, dana yang dibutuhkan faskes pun ikut naik.

Sayangnya, tidak ada pendanaan yang optimal untuk faskes wilayah pedesaan. Tak jarang ditemukan faskes yang kemudian mengorbankan pos-pos pengeluaran lain, misalnya pembayaran insentif tenaga kesehatan. Hal ini tentu akan memengaruhi performa tenaga kesehatan dan keseluruhan faskes itu sendiri.

3. Kebijakan pemerintah

Jika melihat data dari BPS (Badan Pusat Statistik), Indonesia memiliki 82.030 desa/kelurahan. Dengan banyaknya jumlah desa yang ada, tentu sulit untuk melakukan pemerataan.

Sebenarnya, sudah ada beberapa upaya untuk menghadirkan layanan kesehatan yang lebih baik untuk masyarakat pedesaan. Salah satunya adalah program pembangunan nasional Rumah Sehat Desa. Program tersebut bahkan telah tertuang dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jarak Menengah Nasional) 2015-2019. Namun, sayangnya hingga kini program tersebut masih terkendala.

4. Dukungan

Tenaga kesehatan yang ditempatkan di wilayah pedesaan adalah SDM dengan dedikasi tinggi. Bagaimana tidak, mereka kerap kali harus melewati medan yang sulit untuk bisa menangani pasien. Namun, sayangnya, banyak dari mereka yang belum mendapatkan dukungan optimal.

Kondisi geografis menyebabkan tenaga kesehatan di wilayah pedesaan berada di kondisi “terisolir”. Hal ini menyebabkan mereka kesulitan untuk mendapatkan dan memberikan pengobatan kepada pasien. Terkadang, mereka juga harus menghadapi masalah yang sebenarnya bukan bidang keahliannya. Sebab, SDM yang tersedia masih sangat terbatas.

Solusi penerapan ERP

Untuk mengatasi keempat tantangan yang disebutkan di atas memang tidak mudah. Prosesnya bahkan membutuhkan waktu bertahun-tahun. Meski begitu, bukan berarti permasalahan tersebut muncul tanpa solusi. Meski tidak bisa memberikan solusi tuntas, setidaknya bisa meminimalisir dampak negatifnya.

Salah satu solusi yang cocok dengan kondisi layanan kesehatan di Indonesia adalah penerapan teknologi ERP (Enterprise Resource Planning). Penerapan ERP untuk layanan kesehatan sebenarnya sangat luas. Contoh yang sudah mulai banyak diterapkan adalah digitalisasi rekam medis.

Sebelumnya, administrasi rekam medis ditulis secara manual. Cara konvensional ini jelas akan sangat memakan waktu jika dokter ingin segera memastikan kondisi pasien. Namun, dengan sistem ERP, dokter atau tenaga kesehatan bisa mengakses rekam medis lebih cepat. Sebab, semua data pasien tersimpan dalam penyimpanan cloud yang mudah diakses.

Di Indonesia, layanan kesehatan wilayah pedesaan dan perkotaan memiliki gap yang besar. Perbedaan tersebut bahkan semakin terasa selama masa pandemi. Untuk mengecilkan gap yang ada, dapat memanfaatkan penggunaan teknologi. Salah satunya teknologi ERP. Dengan ERP, layanan kesehatan di desa dapat menyederhanakan proses rumit, seperti administrasi rekam medis.

4

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *