Photo by evening_tao on Freepik
Dampak pandemi di Indonesia terasa di berbagai sektor industri, termasuk sektor energi. Kebijakan seperti PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) mau tidak mau memperlambat laju perekonomian. Ketika laju perekonomian melambat, otomatis pergerakan sektor energi pun ikut terhambat. Apakah sektor energi dapat segera pulih setelah pandemi? Apa saja langkah-langkah mitigasi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan performanya?
Sektor energi Indonesia sebelum pandemi
Pada dasarnya, sektor energi Indonesia merupakan sektor industri dengan pertumbuhan konsumsi yang pesat. Ini karena pertumbuhan populasi Indonesia juga terus naik. Investasi di sektor energi pun tergolong menjanjikan. Pada tahun 2019, nilai investasi industri energi mencapai US$26 miliar. Dengan rincian: US$12,5 miliar dari minyak dan gas, US$12 miliar dari listrik, kemudian sisanya berasal dari tambang serta EBT (Energi Baru Terbarukan).
Dampak pandemi terhadap permintaan energi
Namun, saat pandemi menyerang, investasi terhadap proyek-proyek berbasis energi pun terhambat. Proyek-proyek yang semestinya bisa segera diluncurkan harus tertunda. Meski begitu, permintaan energi justru menjadi sangat beragam. Konsumsi bensin dan diesel menurun hingga 15-20%. Penurunan yang lebih drastis terlihat pada konsumsi avtur yang bisa mencapai 50%. Semuanya disebabkan oleh kebijakan pembatasan perjalanan dan pengurangan transportasi umum.
Namun, hal yang sebaliknya terjadi pada permintaan listrik dan LPG (liquefied petroleum gas) rumah tangga domestik. Kebijakan PSBB dan work from home justru meningkatkan konsumsi listrik sekaligus LPG rumah tangga walau kemudian diketahui bahwa konsumsi listrik pun menurun untuk penggunaan industri dan komersial. Data dari McKinsey menyebutkan bahwa total permintaan energi turun hingga 7% pada tahun 2020 dan GDP turun sekitar 1-4%.
Cara untuk meningkatkan performa sektor energi setelah pandemi
Dengan melihat potensi yang dimiliki oleh Indonesia, berikut adalah beberapa cara untuk meningkatkan performa sektor energi pasca-pandemi:
1. Gali potensi SDM dalam negeri
Indonesia sangat membutuhkan talenta baru untuk menggerakkan sektor energinya. Terlebih, kini dunia tengah memasuki era digitalisasi dan Indonesia harus segera mengejar ketertinggalan dalam adopsi teknologi digital di keseluruhan sektor energi.
Sayangnya, belum banyak talenta dalam negeri yang siap menjadi profesional industri energi. Agar bisa mencetak SDM ahli, universitas bisa mendatangkan dosen asing terbaik di bidangnya dan bekerja sama dengan para pimpinan industri energi. Bisa juga dengan mendirikan pusat riset dan pengembangan teknologi produksi energi yang memungkinkan adanya transfer kemampuan dari pakar luar negeri kepada talenta dalam negeri.
2. Perkuat kebijakan
Dibutuhkan intervensi dari pemerintah untuk bisa segera bangkit dari dampak pandemi. Salah satunya adalah kebijakan terkait Kontrak Bagi Hasil. Beberapa blok energi besar Indonesia telah berganti operator dalam lima tahun terakhir. Sayangnya, pergantian operator tersebut justru menimbulkan penurunan produksi signifikan.
Beberapa faktor penyebabnya memang tidak dapat dihindari (infrastruktur yang menua atau sumber daya yang menipis). Meski begitu, sebenarnya dampak tersebut bisa diminimalisir dengan merancang kerangka peraturan yang mendukung.
Misalnya, menyusun kebijakan yang berhubungan dengan langkah-langkah pemulihan biaya ketika operator blok energi. Bisa juga dengan mendorong SKKMIGAS (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) untuk mengawal kelancaran transisi dengan ketat.
3. Percepatan energi terbarukan
Percepatan pengembangan EBT telah menjadi strategi utama beberapa negara, terutama mereka yang berkomitmen untuk mencapai target netralitas karbon di tahun 2050. Indonesia pun sebaiknya mulai mengambil langkah agresif dalam mengembangkan ketahanan dan keberlanjutan EBT dengan memanfaatkan teknologi.
Jika melihat masih rendahnya jumlah pembangkit listrik dari EBT, maka yang menjadi fokus utama adalah pembangunan. Indonesia bisa membangun pembangkit dengan biaya termurah, namun dalam jumlah banyak.
Riset dari GlobalData menghitung jika seluruh potensi energi Indonesia benar-benar dikembangkan, maka EBT akan menghasilkan kapasitas total lebih dari 400 gigawatt. Ini jelas lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan di masa depan.
4. Revitalisasi investasi
Selama dua dekade terakhir, produksi minyak di Indonesia telah turun lebih dari 40%. Akibatnya, impor minyak bumi pun meningkat. Beberapa blok pun kini beralih dari fasilitas ekspor ke impor.
Investasi dalam hal riset dan eksplorasi energi pada tahun 2020 masih tergolong rendah, hanya sekitar 50% dari total investasi tahun 2010. Penemuan signifikan memang tak banyak jumlahnya belakangan ini. Keputusan investasi pada beberapa proyek besar juga harus ditunda selama 4-5 tahun terakhir karena pengembang mengevaluasi kelayakan ekonomi dari proyek-proyek tersebut.
Revitalisasi investasi bisa dilakukan dengan merancang skema insentif yang ditargetkan pada investasi eksplorasi. Alternatif lainnya adalah dengan menyederhanakan proses persetujuan agar implementasi proyek yang bermanfaat bisa segera dilakukan.
Kunci utama dalam meningkatkan performa sektor energi setelah pandemi terletak pada pemanfaatan teknologi. Adopsi dan implementasi teknologi akan mendorong terciptanya inovasi yang optimalkan potensi energi Indonesia. Seperti apa teknologi yang dibutuhkan sektor energi untuk bisa segera pulih?Jawabannya bisa Anda dapatkan dengan mengikuti Digital Transformation Indonesia Conference and Expo (DTI-CX). Event ini menyatukan pemerintah, BUMN, hingga perusahaan swasta yang membutuhkan mitra teknologi untuk mempelajari dan menjalankan rencana transformasi digital, termasuk dalam sektor energi. Daftarkan diri Anda sekarang di sini!